Tuntutan profesional terhadap pelaksanaan konseling meliputi pelaksanaan yang tidak sporadis, dialog yang terarah dan interaktif, dilakukan dalam suasana psikologis yang sengaja diciptakan, serta menggunakan keterampilan-keterampilan dan tahapan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Carkhuff (1983) konselor yang menguasai sejumlah keterampilan konseling akan tiba pada suatu keadaan proses konseling yang berjalan secara efektif. Untuk sampai pada penguasaan keterampilan konseling yang kompeten,

mahasiswa (calon konselor) memerlukan materi pembelajaran yang memuat konsep keterampilan konseling, proses pembelajaran atau latihan yang sistematis, serta memfasilitasi pertumbuhan penguasaan keterampilan konseling. Menurut Borg (Crimmings: 1984) kedudukan dosen dalam mata kuliah keterampilan konseling tidak sama dengan dosen pada mata kuliah yang lain, karena harus berperan sebagai supervisor. Menurutnya, dalam pelaksanaan latihan praktik konseling memerlukan dosen yang bertindak sebagai supervisor dan dapat menciptakan suasana latihan sebagai proses “konseling”. Oleh karena itu, ia menyebut latihan (training) sebagai proses supervisi. Pengertian tersebut secara implisit mengandung suatu asumsi bahwa, jika seseorang bisa menjadi konselor yang efektif, maka orang itu juga bisa menjadi supervisor yang efektif. Meskipun ada beberapa kebenaran dalam asumsi ini, validitas keseluruhannya masih dipertanyakan, karena supervisi bukanlah proses yang sama dengan konseling.
Supervisi/training memfokuskan pada persoalan-persoalan yang berbeda dan karenanya memerlukan keterampilan yang berbeda dari yang selama ini dilakukan dalam konseling. Dengan demikian, belajar untuk menjadi trainer yang efektif menuntut pengetahuan dan keterampilan yang lebih daripada yang dipergunakan dalam konseling. Ketiadaan latihan formal di bidang training telah memaksa banyak profesional untuk mempelajari keterampilan atau strategi training mereka melalui pengalaman mereka sendiri sebagai trainee.
Ada kemungkinan bahwa latihan formal di bidang training tidak diberikan dalam banyak program pendidikan konseling karena literaturnya sendiri nampaknya jarang dan kurang dalam hal metodologi. Faktanya, banyak masalah sulit yang dihadapi oleh para dosen (trainer) yang tertarik untuk melakukan penelitian di bidang ini. Rushton (1992) mengutip pernyataan Bolger bahwa, hanya sedikit informasi tentang penelitian pelatihan dan evaluasinya yang terbatas.
Untuk memperjelas istilah yang sering digunakan dalam latihan konseling, Lent (Steven D: 1984: 627) mencoba mendeskripsikan pengertian supervise (supervise), pelatihan (training) dan konsultasi (consultation). Dengan mengutip definisi yang diberikan oleh Loganbill, Hardy dan Delworth, Lent menjelaskan bahwa supervisi merupakan suatu upaya intensif yang terfokus secara interpersonal, melibatkan hubungan antara seseorang (supervisor) yang memfasilitasi perkembangan kompetensi terapeutis pihak yang disupervisi yaitu supervise (supervisee). Latihan merupakan suatu kegiatan yang dikonseptualisasikan dan difokuskan pada pemahaman keterampilan-keterampilan konseling yang khusus dan ditujukan bagi mahasiswa. Sedangkan konsultasi merupakan gambaran dari hubungan antara dua profesional yang memiliki status setara, tidak ada satupun diantara mereka yang dituntut untuk memfasilitasi perkembangan kompetensi pihak lainnya.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, pendidikan bagi calon konselor (guru pembimbing) diselenggarakan pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan di setiap LPTK. Merujuk kepada hasil kesepakatan forum ketua prodi Bimbingan dan Konseling dan SKK (tahun 2005), mata kuliah yang terkait langsung dengan kemampuan konseling individual yaitu mata kuliah yang terkait langsung dengan kemampuan konseling individual yaitu Teori Konseling Individual, mikrokonseling, dan Praktik Konseling Individual. Mata kuliah Teori Konseling Individual, sebanyak tiga SKS yang disajikan pada semester tiga, Mikrokonseling sebanyak dua SKS dan Praktik Konseling Individual sebanyak tiga SKS yang disajikan pada semester empat. Keterampilan dasar konseling individual (KDKI) diberikan melalui mata kuliah Mikrokonseling. Mata kuliah ini menuntut banyak latihan (praktik) sehingga kegiatannya berbeda dengan mata kuliah bukan praktik baik dalam pengelolaan pembelajaran, penugasan dan evaluasi. Sebagai kasus di jurusan PPB FIP UPI, dosen pengampu mata kuliah mikrokonseling terdiri dari tiga orang dosen, sementara mahasiwa yang harus dilayani paling sedikit 80 orang. Agar para mahasiswa mampu menguasai keterampilan dasar konseling individual (KDKI) yang memadai, maka perlu dipertimbangkan teknik latihan KDKI yang dipandang efektif, jumlah dosen yang mengampu mata kuliah mikrokonseling, serta perangkat instrument yang diperlukan untuk rekaman dan observasi.
Materi KDKI yang menjadi muatan mata kuliah Mikrokonseling ditawarkan oleh beberapa ahli, diantaranya Brammer (1984), Ivey (1999), Okun (1997), McLeod (2007) dan Carkhuff (1984), yang tersaji dalam beberapa format materi. Salah satu bentuk materi yang dipandang memiliki langkah-langkah yang jelas untuk dilakukan oleh konselor adalah keterampilan konseling dari Carkhuff. sehingga menumbuhkan suatu kondisi yang diharapkan pada konseli adalah pendekatan keterampilan konseling yang ditawarkan oleh Carkhuff (1984). Keterampilan konseling ini menyajikan keterampilan yang harus dikuasai oleh konselor meliputi keterampilan attending, responding, personalizing dan initiating. Keterampilan tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kondisi involving, exploring, understanding dan acting pada konseli. Secara rinci Charkuff (1984) menyusun keterampilan-keterampilan konseling pada setiap tahap konseling yang dimaksud.
Salah satu perbedaan yang menonjol antara pembelajaran mikrokonseling dengan mata kuliah yang lainnya adalah diperlukannya perangkat yang dapat melihat penguasaan mahasiswa terhadap keterampilan konseling. Secara ideal, pelaksanaan mikrokonseling memerlukan ruang dan perangkat khusus untuk memfasilitasi dan memonitor keterampilan konseling yang ditunjukkan oleh mahasiswa. Sejauh ini, dibeberapa jurusan PPB yang ada di Indonesia perlengkapan tersebut dapat dikatakan masih terbatas. Kondisi ini perlu menjadi bahan pertimbangan penyelenggaraan mata kuliah mikrokonseling.
Menurut Mattarazzo (Russel, Crimmings, Lent: 1984) perkembangan dan evaluasi teknik dan program pengajaran keterampilan konseling yang diartikulasikan dengan jelas merupakan fenomena yang paling mutakhir. Russsel dkk mengidentifikasi tiga teknik latihan konseling yaitu (1) Microcounselling yang dikembangkan Ivey (1971) yang lebih dikenal dengan Mikrokonseling, (2) Interpersonal process recall (IPR) yang dikembangkan oleh Kagan (1965), dan (3) Didactic experiential yang dikembangkan oleh Truax dan Carkhuff (1967). Microcounselling dikembangkan atas asumsi bahwa keterampilan yang kompleks sangat baik dilatihkan (diajarkan) dengan cara mengurainya menjadi beberapa unit perilaku tertentu. Mikrokonseling telah digunakan untuk mengajarkan beragam keterampilan khusus seperti wawancara, keterampilan memparafrasekan dan pemberian pertanyaan akhir (Ivey,1978).
Langkah-langkah kegiatan setiap model diuraikan sebagai berikut. Model microcounselling terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut.
1. trainee melakukan wawancara konseling dengan trainee (trainee yang lain) tentang masalah nyata atau masalah yang disimulasikan.
2. proses wawancara kemudian direkam menggunakan video.
3. trainee membaca petunjuk materi tertulis yang menjelaskan tentang suatu tahap keterampilan dasar konseling.
4. disajikan video model yang lain.
5. trainee mengobservasi hasil wawancara dengan trainer bersama-sama dengan trainee yang lainnya, terlepas dari bagaimana ia seharusnya melakukan keterampilan ini.
6. trainer bersama-sama dengan trainee mereviu keterampilan-keterampilan tersebut bersama-sama kemudian mereka merencanakan wawancara kedua yang akan dilakukan trainee.
7. trainee kembali melakukan wawancara konseling dengan trainee yang sama, sesi wawancara direkam kembali melalui video dengan memberi perhatian tertentu pada keterampilan yang sedang dipelajari.
8. trainee menerima umpan balik final dan mengevaluasi sesi wawancara bersama dengan supervisor.
Dapat dilihat bahwa Microcounselling digambarkan sebagai paket latihan multikomponen yang membahas beberapa komposisi yang berbeda, meliputi penunjukkan trainer, dan pembelajaran observasional (observasi-diri dan modeling). Penelitian mengungkap bahwa struktur multikomponen tersebut sangat diperhitungkan masing-masing kekuatannya. Bagaimanapun, komponen individual yang beragam atau kombinasi komponen bisa jadi efektif, bergantung pada kompleksitas keterampilan yang harus dikuasai. Contohnya, instruksi saja mungkin cukup untuk mengajarkan keterampilan yang sederhana, namun instruksi plus modeling lebih diperlukan untuk keterampilan yang lebih kompleks.
Teknik interpersonal process recall (IPR) yang dikembangkan oleh Kagan dan asosiasinya, merupakan program inovatif lainnya untuk mengajarkan keterampilan konseling. IPR menggunakan umpan balik berupa video untuk melihat perilaku konselor dalam wawancara. Model IPR dieksplorasi sebagai metode untuk mempercepat pertumbuhan trainee dalam konseling. IPR diaplikasikan pada latihan konselor dengan asumsi bahwa ’recall yang terstimulasi’ terhadap peristiwa yang signifikan selama wawancara konseling yang direkam dapat memfasilitasi pemahaman konselor atas proses konseling yang akan meningkatkan efektifitas konselor. Formulasi asli dari IPR sebagai program latihan dikemukakan oleh Kagan dkk (Brown, 1984), prosedurnya meliputi:
1. Trainee melakukan wawancara konseling selama 30 menit dengan trainee sukarela, sesi ini kemudia divideokan.
2. Setelah sesi selesai, konselor meninggalkan ruangan wawancara dan digantikan oleh seorang ’interrogator’ (supervisor yang terlatih) yang melakukan sesi recall dengan trainee. Selama pemutaran kembali video sesi konseling, interrogator meminta trainee untuk menghentikan video pada saat-saat yang menjadi moment signifikan dalam rangka mendiskusikan persepsi trainee terhadap perasaan, pemikiran-pemikiran, dan perilaku yang terjadi dalam wawancara konseling yang sebenarnya.
3. Video rekaman sesi recall kemudian direviu oleh trainee. Sementara mendengarkan rekaman video, trainee juga mengikuti catatan tertulis , serta mengarahkan perhatian pada aspek-aspek tertentu dalam sesi recall.
Revisi prosedural terhadap model latihan IPR telah menambahkan sejumlah elemen pada program tersebut, di antaranya menyajikan recall terhadap konselor yaitu dengan cara memperhatikan reaksi trainee sendiri selama sesi konseling yang divideokan; latihan inquiry yaitu menempatkan konseli berperan sebagai pengamat, yang dikenal dengan sebutan peran ‘interrogator’ dan melaksanakan sesi recall kepada trainee yang lainnya; mutual recall (dimana trainee dan trainee terlibat secara bersamaan dalam sesi recall yang difasilitasi oleh seorang trainer) dan simulasi afektif yang memungkinkan trainee mempraktikkan sejumlah simulasi pengalaman interpersonal.
Teknik didactic experiential dikembangkan oleh Truax dan Carkhuff (1967), pada awalnya program ini dikembangkan untuk mengajarkan kualitas interpersonal seperti kehangatan, empati dan keaslian kepada para terapis. Menurut Russel (1984) latihan didaktis ditujukan sebagai upaya sadar dari lembaga profesi untuk menyiapkan terapis di masa depan dengan perangkat dan daftar respon-respon akurat yang layak. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran kognitif tentang informasi dan teknik-teknik yang diperlukan untuk konseling yang efektif. Dalam latihan eksperiensial, fokus intelektual dan perolehan teknik dipandang sebagai kebutuhan sekunder dalam eksplorasi diri konselor. Penekanan dilakukan pada kesadaran konselor akan perasaannya sendiri serta pada pengembangan orientasi yang unik terhadap proses konseling. Dengan mempertimbangkan keuntungan dari dua pendekatan pelatihn tersebut, maka Truax dan Carkhuff memberikan model baru yakni model didaktis-eksperiensial yang terintegrasi.
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Trainee diberi materi tentang keterampilan dasar yang sedang dipelajari.
2. Trainee diminta untuk memperhatikan rekaman video yang menayangkan tentang keterampilan dasar yang sedang dipelajari.
3. Trainee diminta untuk menilai respons-respons konselor yang ada dalam tayangan video.
4. Mempraktikkan keterampilan tersebut dalam sesi simulasi (role playing) dengan trainee yang lainnya.
5. Kemudian bersama-sama dengan trainee yang lainnya mendiskusikan hasil pengamatan dengan memfokuskan pada kesulitan-kesulitan yang ditemui trainee dalam perannya sebagai konselor.

2 komentar:

FG JGJMBG

semoga menginspirasi dosen lainnya untuk menggunakan media cyber...
titip link pak..
http://konselor008.blogspot.com

Posting Komentar